Ayahku adalah kabut. Aku hanya akan bertemunya di pagi saat aku hendak berangkat bekerja, dan sore hari ketika aku pulang. Ia biasa duduk di amben depan halaman rumahnya. Saat istrinya selesai memasak atau mengurusi hal lain di dalam rumah, ia akan keluar membawakan segelas kopi hitam untuk ayahku. Pandangan mata kami pernah tak sengaja bertemu. Tak ada yang terucap selain anggukan kecil dari masing-masing yang tampak kaku.
Pagi sekali, sebelum azan subuh, ibuku berangkat ke pasar untuk belanja kebutuhan warungnya. Aku tak suka berprasangka, tapi dugaanku, itu cara ibu agar tidak bertemu dengan ayah dan istrinya. Sejak ditinggal ayah, ibu membuka warung nasi pecel di pinggir jalan dekat sekolahku dulu.
Ibu dan ayah bercerai ketika aku naik ke kelas 6 sekolah dasar. Aku tak pernah paham apa yang ada di pikiran mereka saat itu. Bagaimana bisa mereka berpisah sementara mereka pernah memutuskan untuk hidup bersama. Apa mungkin ketika waktunya tiba saat aku berumah tangga nanti, hal seperti itu akan terjadi? Entahlah. Tapi sebagai lelaki, aku memang tak begitu paham perempuan. Bisa jadi itu yang dialami ayah.
Dua tahun lalu aku memilih meninggalkan Lastri hanya karena keluarganya tak setuju kami menikah. Aku tak menduga lantaran selama tiga tahun kami menjalin hubungan semua tampak baik-baik saja. Aku sering berkunjung ke rumahnya dan menemui orang tuanya. Namun di suatu hari saat aku menyatakan kesungguhanku, tiga hari setelahnya Lastri memberikan jawaban kalau kedua orang tua mereka tak setuju kami menikah.
“Maafkan aku, Mas. Aku tak mungkin melawan mereka,” ucap Lastri saat menemuiku sepulang bekerja di salah satu rumah makan pinggir jalan.
Dalam keadaan tubuh lelah dan pikiran capek, aku harus menerima kenyataan pahit ini langsung dari kekasihku. Lalu apa tujuan dari hubungan kami selama ini?
“Tak perlu ada yang dimaafkan, beri aku waktu untuk sendiri,” kataku tak panjang lebar. Selera makanku hilang. Aku pamit setelah membayar semua pesanan. Lekas aku menuju parkiran. Kutancap gas motorku meninggalkan Lastri seorang diri yang tampak berlari mencoba mencegahku. Aku tak menoleh sedikit pun. Sudut mataku hanya melihatnya dari kaca spion.
Sore itu aku seperti menjadi anak kecil yang menangis hanya karena keinginannya tidak dituruti. Sepanjang jalan air mataku tumpah. Selama ini, aku sudah menabung untuk biaya pernikahanku kelak dengan gadis pujaanku. Tapi ketika harus menghadapi kenyataan pahit ini, semua rasanya percuma.
***
Pukul 03.00 subuh aku pamit pada ibu untuk naik gunung. Setelah perpisahanku dengan Lastri, aku lampiaskan dengan mendaki gunung. Tabunganku perlahan-lahan habis untuk membeli perlengkapan mendaki. Ibu tak bisa mencegahku, ia tahu ini cara anaknya untuk menyembuhkan luka yang dialami.
Ada rasa lega yang sulit untuk aku ceritakan ketika temanku bertanya apa nikmatnya mendaki gunung. Biarkanlah rasa ini aku sendiri yang alami. Yang jelas aku selalu merasa punya banyak waktu dengan diriku sendiri; melihat diri lebih dekat dan dalam ketika berada di alam bebas.
Hari itu tidak seperti biasanya. Ayah yang tinggal 200 meter dari rumah kami, saat itu sedang duduk sendirian di luar rumah. Sepagi itu. Aku sengaja berjalan kaki menuju ke stasiun kereta yang tidak jauh dari rumahku. Tas ransel sudah bersandar di punggungku. Ada rasa yang tiba-tiba menjalar dalam diriku. Ayah tampak menunduk, namun meski begitu aku tahu ia pasti melihatku.
Dari cerita ibu, saat ayah muda, ia juga senang mendaki gunung. Mereka memang bersahabat sejak kecil. Hal itu pula yang membuat ibu kagum padanya semasa sekolah. Hingga mereka lulus, akhirnya mereka memutuskan untuk menikah.
“Ibu memang secinta itu pada Ayahmu dulu. Cinta buta,” kata ibu suatu hari. Suaranya pagi itu tiba-tiba merambat di dalam kepalaku.
“Cinta buta?” aku melihat kedua mata sayu ibu yang berkaca-kaca.
“Hubungan kami sempat tidak direstui Nenekmu. Ia mencegah Ibu dan berkata suatu hari Ibu akan menyesal bila menikah dengan Ayahmu.” Ibu berjalan pelan ke dapur. Ia berkisah sambil menyiapkan makan malam untukku kala itu.
“Jadi, Ibu setuju dengan ucapan Nenek?” tanyaku sembari menuangkan air minum untuknya.
“Kamu tak akan mengerti kalau tak mengalaminya sendiri,” Ibu menerima gelas dariku dan meminumnya. Ada kelegaan yang bisa aku rasakan dari ekspresi wajahnya. “Andai saja Ayahmu berhenti minum-minum dan mau bekerja,” kenangnya sambil mengulek sambal terasi kesukaanku.
Kenangan itu berkelebat begitu saja di benakku. Aku berjalan terus melewati rumah ayah. Ia tinggal di rumah istrinya. Sampai saat ini, sepengetahuanku ayah memang belum bekerja. Aku melihat ada sebotol minuman keras di sampingnya. Tetapi ayah tetap menunduk. Dia tidak meminumnya saat aku hampir melewatinya.
“Berangkat, Li?” seketika ia bersuara. Tidak ada siapa-siapa saat itu selain kami berdua. Aku tak menyangka ayah akan menyapaku. Selama ini, setiap kali kami bertemu, aku hanya akan tersenyum canggung, begitu juga ayah. Meski rumah kami berdekatan, tak ada sama sekali niat dari masing-masing untuk sekadar mampir. Apalagi dulu ayah diusir dari rumah nenek ibu dan diminta untuk menceraikannya. Kau pasti sama sepertiku, hidup tidak nyaman dalam keadaan begini. Segalanya jadi serba salah. Mereka yang bertengkar, aku yang harus merasakan akibatnya.
“I.. iya, Yah….” aku menghentikan langkahku. Ada jarak sekira tiga meter antara aku dengannya.
“Buru-buru?” tanyanya masih dengan kepala menunduk.
“Masih setengah jam lagi, keretaku berangkat, Yah,” jawabku berbohong. Padahal masih ada waktu satu jam. Aku memang biasa berangkat satu jam lebih awal dari rumah.
“Ke sini sebentar, Li. Ada yang mau Ayah obrolin, sebentar aja,” ia menoleh. Dalam remang lampu, aku bisa merasakan cahaya di kedua matanya. Hari Minggu ibu libur berjualan, karenanya ia tidak pergi ke pasar sepagi ini.
Aku berjalan mendekat ke arahnya. Aku pura-pura tak melihat ayah menyingkirkan botol minuman kerasnya dan menaruhnya di bawah amben, dekat kakinya. Ia menyilakan aku untuk duduk.
“Kamu udah besar, ya Li…,” suaranya parau. Aku merasakan tubuhnya bergetar ketika mengelus bahuku.
“Iya. Ayah apa kabar?” tanyaku yang sesekali melihat ke sekitar rumah, khawatir ibu melihat aku mengobrol dengan ayah. Ia pasti akan sangat marah kalau tahu hal ini terjadi. Aku memiliki trauma tersendiri soal ini.
***
Suatu hari, saat mereka baru bercerai, ayah datang ke rumah membawakan bola sepak untukku. Ibu dengan hati yang murka mengusir ayah hingga banyak tetangga yang melihatnya. Bola itu, yang sedang ada di genggaman tangan mungilku, ibu tarik secara paksa. Aku menangis. Terlebih ketika ia merobeknya dengan pisau di depan wajahku. Sejak saat itu aku tak berani menemui ayah, sekalipun ibu tidak melihatnya. Aku selalu merasa ibu ada di mana-mana.
“Kabar Ayah? Seperti yang kamu lihat, Li. Begini-gini saja….” aku tidak tahu harus berkata apalagi. Ada hening seketika dan mengambil jeda waktu kami untuk beberapa saat.
“Tumben jam segini Ayah udah di luar, mau pergi?” tanyaku. Ia melihat wajahku untuk beberapa jenak. Lalu bibirnya tersenyum tipis.
“Ayah mau ketemu Ibumu. Tapi Ayah baru ingat kalau hari ini Ibumu libur berjualan, ya?”
“Ada yang mau Ayah sampaikan? Bilang saja nanti Ali yang beritahu Ibu,” kataku akhirnya.
“Tidak ada, Li. Tidak penting juga,” suaranya rendah sekali. “Ayah cuma mau bilang terima kasih sudah mau merawatmu dengan baik. Mungkin, kalau saat itu kamu ikut Ayah, kamu nggak akan seperti saat ini.” Sekali lagi ia menepuk bahuku.
Ibu sungguh tidak adil. Bagaimana mungkin ayah yang katanya pemarah bisa jauh berbeda ketika aku berbicara langsung dengannya? Kenapa aku begitu percaya padanya selama ini tanpa mencoba sendiri menemui ayah. Ayah pemalas, pemabuk, dan tidak mau bekerja itu satu hal. Tapi, dari kata-katanya barusan, ia tetaplah seorang ayah yang baik, yang peduli pada anaknya. Mengapa hidup tak adil begini? Ingin sekali aku mendekap tubuh ayah, tapi aku tak punya kuasa untuk melakukannya.
“Sebelum kamu pergi, terima kasih kamu sudah menjadi anak yang baik buat Ibu. Kamu menjaga Ibu dengan sangat baik, Li. Ayah bangga….” Ada air mata yang berusaha aku tahan. Aku tak ingin ayah melihatku menangis.
“Ali juga terima kasih, Yah. Maaf, nggak banyak yang bisa Ali lakukan untuk kalian,” ucapku sambil berdiri. Aku meraih tangan ayah yang dingin dan mencium punggung tangannya. Aku pamit dengan dada yang bergemuruh, kemudian Aku berjalan menjauh dan ayah menatapku lebih lama tidak seperti biasanya.
***
Ayahku adalah kabut. Aku begitu mencintai kabut. Aku bahkan sengaja memburunya setiap kali mendaki gunung. Aku rela bangun tengah malam dan mendaki demi melihat kabut yang sesaat muncul saat matahari belum bersinar sampai siang hari akan lenyap.
Aku selalu membayangkan bisa bermain-main dengan kabut yang menyelimuti lembah dan pohon-pohon yang menjulang. Namun setiap kali aku ingin merengkuhnya, dalam telapak tanganku hanya ada kekosongan.
Keesokan harinya setelah aku turun dari pendakian, ibu menelepon. “Kapan kamu pulang, Li? Kemarin rumah Ayahmu dikepung polisi,” ucap Ibu yang tak memikirkan apakah aku siap atau tidak mendengar kabar yang mengejutkan itu.
“Memangnya ada apa, Bu?” aku menunggu ibu berkata setelah jeda puluhan detik.
“Ayahmu selama ini seorang pengedar dan pemakai narkoba, Li, itu alasan Ibu dulu berpisah dengannya,” suaranya parau. Aku mendengar ada isak tangis yang coba ibu sembunyikan. Sungguh aku tidak percaya sejauh itu kelakuan ayah. Mungkinkah di perjumpaan kami kemarin ia ingin mengatakan hal itu padaku?
Aku terduduk lemas sesaat di atas batu dan rerumputan. Aku mendongak ke puncak-puncak gunung di hadapanku, dan di sana, aku melihat tubuh ayah bersembunyi di antara kabut-kabut yang perlahan lesap tersapu angin. Ayahku menjelma kabut. Dan ketika aku ingin mencoba merengkuhnya, dalam telapak tanganku hanya ada kekosongan.[]
Bromo – Cilegon, 02 Januari 2021
Tentang Penulis:
Ade Ubaidil, pengarang asal Cilegon. Ia relawan di Rumah Dunia. Arsip tulisan lainnya bisa dilihat di: www.quadraterz.com. Kini ia aktif mengelola Rumah Baca Garuda. Aktif bermedia sosial di FB dan IG @adeubaidil.
Tentang Program Tulisan Eigerian:
Karya Eigerian adalah salah satu rubrik dalam program Tulisan Eigerian. Program Tulisan Eigerian adalah program yang membuka kesempatan bagi para penulis dan petualang untuk menjadi kontributor di Blog EIGER. Kontributor dapat berbagi karya, cerita, tips, ataupun review produk EIGER. Program ini terbuka untuk umum dan memiliki syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi oleh para kontributor. Yuk salurkan bakat dan bagikan semangat petualangan melalui tulisan-tulisan yang bermakna sekarang juga, ada reward bagi kontributor yang tulisannya ditayangkan! Cek syarat dan katentuannya untuk menjadi kontributor Blog EIGER di sini atau langsung kirim artikelmu melalui form ini.