HomeTulisan EigerianMenelusuri Keindahan Gunung Lawu yang Memesona

Menelusuri Keindahan Gunung Lawu yang Memesona

Menikmati keindahan alam dari puncak barangkali merupakan pengalaman pertama yang saya lakukan. Jauh di atas ketinggian dan dunia luar, saya menemukan hal yang selama ini tidak saya dapatkan ketika berada di bawah. Hal seperti ini yang membuat saya jatuh cinta untuk kembali menelusuri langkah demi langkah perjalanan hebat ini, menuju Gunung Lawu.

Sore hari dengan langit biru dan cahaya fajar berkilauan di cakrawala. Saya bersiap untuk pergi ke stasiun kereta bersama seorang teman yang sudah lebih dulu melakukan pendakian di beberapa gunung di Pulau Jawa. Menaiki kereta KRL Yogyakarta-Solo, kami pergi ke timur hingga sampai di Kota Solo. Tujuan kami kali ini adalah melakukan pendakian ke Gunung Lawu. 

Cahaya matahari hilang takkala kami sampai di Kota Solo, tetapi perjalanan kami masih setengah jalan untuk sampai ke basecamp tempat kami bermalam untuk keesokkan harinya kami melakukan pendakian.

Namun, sebaik apa pun rencana pasti akan ditemukan hal di luar dugaan. Bus terakhir yang seharusnya membawa kami ke Terminal Karangpandang ternyata sudah tidak tersedia setelah pukul 17.00 dan harus menunggu keesokan harinya. Akhirnya, kami berangkat dengan menggunakan kendaraan yang dipesan lewat daring. Tentunya sangat tidak rekomendasi dengan biaya yang tidak murah.

Dimulainya Perjalanan Panjang

Setelah sampai di Terminal Karangpandang, kami melanjutkan perjalanan ke basecamp Candi Cetho dengan menyewa kendaraan bus angkutan umum. Rasa dingin dan gemerlapnya lampu di atas takkala kami menyusuri jalan yang gelap. Akhirnya, sampai di tempat bermalam dengan sinyal internet hilang dan dengan dinginnya malam yang menusuk.

Sinar matahari pagi dengan langit yang cerah menyambut kami dengan suhu udara dingin yang masih sama. Saya melihat para pendaki lain yang akan memulai pendakian maupun yang baru sampai basecamp. Kami masih harus menunggu teman lainnya untuk sama-sama melakukan pendakian. Takkala jam menunjukkan pukul 08.00 WIB, mereka sampai setelah melakukan perjalanan panjang dari Jakarta.

Saya menatap ke bawah melihat hamparan dataran rendah yang luas dari Basecamp Candi Cetho, sangat menakjubkan dengan hamparan kebun teh dan pertanian lainnya. Hangatnya cahaya matahari ternyata yang paling saya inginkan ketika itu, setelah berjibaku dengan dinginnya malam saya kembali merasakan hangatnya matahari. 

Setelah melakukan proses registrasi dan persiapan untuk melakukan pendakian, saya bersama teman-teman sependakian lainnya melangkah untuk memulai perjalanan panjang. Ini adalah pendakian pertama saya dengan elevasi yang mungkin bagi para pendaki pemula atau yang baru memulai adalah gunung yang tidak cocok dilakukan bagi seorang pemula. 

Menyusuri Jalan Setapak

Saya melangkah untuk pertama kalinya menyusuri jalan setapak yang masih bisa dilalui dengan kendaraan sepeda motor. Cahaya matahari berada di balik rimbunnya pohon takkala kami sampai di tempat di mana sebuah gapura sederhana dengan tulisan ‘selamat datang’ menyambut kami. Saya mengabadikan momen ini bersama teman lainnya, gapura ikonis ini sangat populer dan banyak diabadikan oleh pendaki lainnya. 

Melanjutkan perjalanan menyusuri jalan yang masih bisa dilalui oleh kendaraan roda dua hingga pada akhirnya jalan itu tergantikan dengan jalan setapak beralaskan tanah tepat ketika kami sampai di Candi Kethek. Setelah itu, kami menyusuri jalur pendakian dengan cuaca mendung tanda turun hujan akan menyambut kami. Kabut tebal dan hujan perlahan turun hingga akhirnya kami sampai di sebuah saung kecil tak berdinding untuk berteduh dan memakai jas hujan.

Jam di tangan sudah menunjukkan pukul 10.38 WIB, kami berangkat di tengah guyuran hujan untuk menghitung estimasi waktu yang dibutuhkan agar sampai Pos 5 tetap waktu sebelum matahari terbenam. Melanjutkan perjalanan, saya melihat sebuah pemandian air dengan kolam dan pancuran air yang jernih. 

Memulai Perjalanan Menuju Pos

Hujan tak hentinya membasahi kami tetap ketika kita sampai Pos 1, kami tidak berhenti di sana untuk sekadar menepi beristirahat, tetapi tetap melanjutkan perjalanan ke Pos 2, hujan deras terus menerus membasahi sampai kami melanjutkan perjalanan menuju Pos 3 sebagai tujuan kami beristirahat dan makan siang untuk selanjutnya meneruskan perjalanan ke Pos 5.

Perjalanan dari Pos 2 ke Pos 3 seperti tidak ada akhirnya, rasa lelah pasti saya rasakan, tetapi tidak menutup kemungkinan teman-teman maupun pendaki lainnya pun merasakan hal demikian. Jarak antara Pos 2 ke Pos 3 yang jauh dengan jalur pendakian berlumpur dan hujan deras yang terus mengguyur kami, rasanya tidak mematahkan kami untuk terus melangkah sampai kami berada di atas.

Pada akhirnya kami sampai di Pos 3, salah satu dari lima pos via Candi Cetho tempat kami beristirahat dan makan setelah tenaga kami terkuras untuk sampai ke sini. Jam menunjukkan pukul 15.00 WIB, hujan berhenti dan digantikan dengan sinar matahari sore yang menembus celah rindangnya pepohonan. 

Saya merasakan hangatnya sinar matahari kembali, nyaman dan rasanya sangat indah melihat sinar matahari setelah kami berjibaku dengan hujan dan lumpur yang menemani perjalanan kami untuk sampai di Pos 3 ini. Kami makan, istirahat, dan mengisi persediaan air dengan adanya sumber air dari saluran air warga. Namun, perjalanan ini belum selesai, masih setengah jalan untuk kami mendirikan tenda dan bermalam di Pos 5. 

Dunia tak selebar daun kelor, peribahasa itu cocok untuk menggambarkan betapa kecilnya dunia setelah saya bertemu dengan teman saya di Pos 3. Saya tidak tahu dia akan melakukan pendakian ke Gunung Lawu di hari dan tanggal yang sama. Namun, saya bertemu dengan dia di Pos 3 bersama dengan teman-temannya juga. Kami mengobrol sebentar dan bertukar cerita tentang apa yang saya lalui dan dia lalui untuk sampai di Pos 3.

Melanjutkan Perjalanan ke Pos 4 Gunung Lawu

Kami melanjutkan perjalanan ke Pos 4 untuk akhirnya kami sampai Pos 5, tetapi rasanya dengan estimasi waktu dan dengan jarak antarpos yang berjauhan, sulit untuk kami sampai di Pos 5 dan mendirikan tenda sebelum matahari terbenam. Saya menapaki jalur pendakian dengan sepatu gunung yang basah dan berlumpur. 

“Selangkah demi selangkah, menyusuri jalur pendakian”

Sepanjang perjalanan menuju Pos 4, saya bisa melihat bahwa di sisi kanan saya merupakan jurang atau punggungan gunung yang dalam. Tanah basah sisa-sisa dari hujan siang tadi dan dengan sinar matahari sore yang terik menemani perjalanan kami untuk sampai Pos 4, perjalanan dari Pos 3 ke Pos 4 ini terbagi ke dalam beberapa kelompok kecil dari rombongan. Kami menyusuri jalur pendakian selangkah demi langkah, tetapi rasanya ini adalah jarak antarpos terlama yang kami lalui. 

Namun, senja yang indah ketika kami melihat ke cakrawala ternyata mengalihkan pandangan dan pikiran kami untuk sementara berhenti. Kami mengabadikan momen senja di Gunung Lawu. Berdiri bersama teman dan pendaki lainnya, kami berdiri menatap horizon itu. Melihat perlahan-lahan matahari dan sinarnya yang memulai meredup tergantikan dengan gelapnya malam yang dingin.

Pukul 18.00 WIB kami sampai di Pos 4, rencana untuk sampai dan mendirikan tenda di Pos 5 tidak bisa kami kejar. Kami menunggu teman-teman lainnya yang masih berjalan. Rasanya perjalanan yang panjang untuk bisa sejauh ini. Kami bercengkerama satu sama lain ketika sinyal gawai tidak bisa kami andalkan atau ketika kita melihat ke luar dari dalam Pos 5 hanya gelap yang terlihat.

Melanjutkan perjalanan ketika semua teman sudah sampai di Pos 4. Beristirahat untuk mengumpulkan tenaga kembali karena perjalanan untuk sampai Pos 5 masih lumayan jauh. Rasa lelah setelah seharian berjalan terbayarkan ketika kami sampai di tempat mendirikan tenda pada pukul 21.15 WIB 

Tidak menunggu lama, kami mendirikan tenda bersama dengan pendaki lainnya yang sudah lebih dulu mendirikan tenda. Pakaian, celana, dan sepatu kami yang basah tergantikan dengan hangatnya baju dan celana pengganti serta jaket yang hangat. Sesekali saya melihat ke atas, langit hitam tak tersentuh bintang menemani kami hingga kami terlelap tidur.

Perjalanan ke Puncak

Keesokan harinya, sinar matahari membangunkan kami dengan cahayanya yang cantik. Kami makan pagi dan melanjutkan perjalanan ke puncak melewati pohon pinus dan sabana yang terbentang luas. Kami tidak bisa melihat matahari terbit dari puncak, seperti halnya pendaki lainnya yang sudah lebih dulu summit sedari pagi untuk melihat momen itu.

Tenyata untuk sampai ke puncak bukanlah suatu hal yang mudah. Saya harus berjalan lagi dan itu tidak sebentar, tetapi sinar matahari pagi yang indah pada pukul 08.30 WIB menyertai kami dengan pohon di sisi kanan dan kiri. Kami berjalan untuk sampai di sabana yang luas, Gupakan Menjangan orang menyebutnya.

Di sana kami mengabadikan berbagai momen dan rasanya kami berada jauh di antah berantah, tetapi bisa sejauh ini bukanlah suatu hal yang menakutkan. Kami berjalan melewati pohon pinus dan punggungan bukit untuk sampai ke sebuah tempat yang sebagian orang menganggapnya Pasar Dieng.

Sinar matahari benar-benar bersinar ketika itu, hanya sedikit kabut terlihat dan hanya sekadar lewat. Kami sampai di tempat di mana bagi seorang pendaki, ini adalah tempat yang wajib dikunjungi ketika ke Gunung Lawu. Ya, warung Mbok Yem. Akhirnya, saya bisa melihatnya secara langsung lewat mata kepada saya sendiri.

Sangat ramai dengan para pendaki lain yang sedang menikmati makan dengan segelas teh hangat. Namun, yang mencuri perhatian kami adalah monyet peliharaan Mbok Yem yang berada di depan pintu masuk menyambut setiap pendaki yang hendak makan.

Kami beristirahat sejenak sebelum kembali berjalan ke puncak yang berada di belakang warung Mbok Yem, sempat tidak ingin berjalan lagi dan menunggu teman-teman lainnya saja ke puncak dan saya menunggu di warung. Namun, karena tidak setiap waktu saya ke sini, saya melanjutkan perjalanan kembali untuk sampai ke puncak.

Akhirnya Melihat Puncak Megah Gunung Lawu

Jalan berbatu nan terjal menjadi kesulitan kami untuk ke puncak, rasanya lelah ketika kami harus terus berjalan dengan sinar matahari panas yang menyengat. Kami banyak berhenti untuk menghela nafas dan mengatur pernafasan. Sampai akhirnya, kami sampai dan melihat tugu itu, tugu yang banyak orang mengunggahnya di media sosial mereka. Terbayar ketika kami sampai puncak di atas ketinggian, kami melihat bahwa kami adalah bagian terkecil dari semesta yang besar ini.

Setelah lelahnya berjalan untuk sampai ke sini. Akhirnya kami sampai puncak, titik tertinggi Gunung Lawu dengan ketinggian 3.265 meter di atas permukaan laut. Rasa syukur pastinya tergambarkan oleh rekan-rekan lainnya. Setelah berjalan di tengah guyuran hujan dan terjalnya trek di jalur pendakian via Candi Cetho. Namun, semua itu bukan penghalang untuk kita sampai ke titik di mana kami menyelesaikan pendakian ini.

Turun Menuju Perkemahan

Jam sudah menunjukkan pukul 11.30 WIB kami turun untuk menuju perkemahan yang jaraknya lumayan jauh. Selain itu, bersiap untuk makan siang dan dilanjutkan membongkar tenda untuk kami turun ke basecamp. Menikmati sinar matahari dengan berbagai macam masakan yang kami buat. Kebersamaan yang mungkin hanya ditemukan ketika kami di alam bebas tanpa ada gangguan dari dunia di luar sana.

Kami berjalan turun untuk sampai di basecamp sebelum matahari terbenam, itu yang kami tuju awalnya. Namun, rombongan kami terpencar menjadi beberapa grup kecil. Saya tidak membayangkan ketika saya harus berjalan di antara kegelapan dengan satu rekan saya di Pos 3 sampai basecamp. Kemudian, kami bertemu dengan rombongan lain ketika kami akan berjalan. Tanpa ketenangan yang dibangun, mungkin pikiran saya sudah tak karuan.

Namun, berjalan di kegelapan bukan suatu hal yang mudah. Headlamp saya mati karena terkena air hujan kemarin yang mengguyur saya ketika melakukan pendakian. Kami harus melihat jalur dari pendaki yang kami ikuti. Sangat sulit karena jalur yang dipenuhi lumpur sangat menyulitkan kami ketika harus berjalan apalagi di tengah kegelapan.

Terus berjalan dan sesekali terperosok karena licinya jalur pendakian. Kami berpacu dengan waktu. Rasanya kaki saya sudah tidak kuat untuk berjalan, tetapi jam sudah menunjukkan pukul 20.00 WIB dan kami masih jauh dari tempat tujuan, yakni basecamp.

Akhirnya, kami sampai dengan pakaian, dan sepatu gunung kami yang basah dan dipenuhi dengan lumpur. Lelah ketika harus membayangkan ketika itu, kaki saya kram dan sudah tidak kuat lagi untuk berjalan. Saya bersyukur masih dikasih kesempatan kembali untuk melihat gemerlapnya cahaya lampu di bawah sana.

Juga melihat teman-teman lainnya yang sudah lebih dulu sampai. Rasanya tidak bisa terbayangkan bagaimana kami harus berjuang di tengah gelapnya malam. Dengan jalur pendakian yang mungkin bagi saya cukup menantang. Anda harus merasakannya sendiri untuk tahu bagaimana keseruan ketika melakukan pendakian untuk pertama kalinya.

“Sekali Naik Gunung, Pasti akan Kecanduan”

Namun, ketika saya pulang saya teringat pesan dari seorang pemuda penjaga pintu jalur pendakian Candi Cetho. Ia mengatakan ‘sekali naik gunung, pasti akan kecanduan’ dan ya memang benar. Saya ingin terus mencoba kembali merasakan dinginnya malam atau hangatnya kebersamaan ketika kami berada jauh di atas.

Rasa lelah mungkin hanya akan bertahan sebentar saja, tetapi kenangan yang terukir akan terus teringat ke mana pun Anda pergi. Pengalaman baru untuk bisa sejauh ini. Bertemu teman-teman baru, tempat baru, dan merasakan jauh dari dunia luar adalah pengalaman mengagumkan yang pernah saya lakukan sejauh ini. Terima kasih untuk hal hebatnya.

Gunung Lawu, 6—7 Mei 2023

Tentang Penulis:

Aris Risnandar, mengabadikan setiap momen di setiap langkah untuk melihat dunia yang terbentang luas. Ikuti berbagai pengalaman mengagumkan lainnya di media sosial Instagram/Twitter/TikTok @arhvaris. Saya tunggu berbagai cerita yang mengagumkan pula tentunya di tempat yang menakjubkan juga. 

Tentang Program Tulisan Eigerian:

Cerita Eigerian adalah salah satu rubrik dalam program Tulisan Eigerian. Program Tulisan Eigerian adalah program yang membuka kesempatan bagi para penulis dan petualang untuk menjadi kontributor di Blog EIGER. Kontributor dapat berbagi karya, cerita, tips, ataupun review produk EIGER. Program ini terbuka untuk umum dan memiliki syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi oleh para kontributor. Yuk salurkan bakat dan bagikan semangat petualangan melalui tulisan-tulisan yang bermakna sekarang juga, ada reward bagi kontributor yang tulisannya ditayangkan! Cek syarat dan katentuannya untuk menjadi kontributor Blog EIGER di sini atau langsung kirim artikelmu melalui form ini.

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments

Rensi Gabrilla Renanda Aan Claudia on Daftar Menu Makanan dan Cara Tepat Mengolahnya Saat Mendaki
Syamsul Alam Habibie Sahabu on Promo 2.2 Seru Belanja Outfit Riding Terbaru
Rensi Gabrilla Renanda Aan Claudia on Promo 2.2 Seru Belanja Outfit Riding Terbaru
Rensi Gabrilla Renanda Aan Claudia on Promo 2.2 Seru Belanja Outfit Riding Terbaru