Jauh sebelum itu, sekitar agustus 2020 saya tidak sengaja menemukan video di youtube dengan judul “Without a partner, Pete Whittaker rope solos El Capitan in under 24 hours”. hmm.. sedikit heran. “oh ternyata ada to teknik kayak gitu, oke ayo di coba”, kurang lebih begitulah tanggapan saya saat melihat rope solo climbing.
Setelah melihat beberapa video rope solo dari youtube dan juga berkali-kali mempraktekannya. Tahun 2022 saya ingin melakukannya di tebing yang lebih besar. Di kepala saya langsung terpikir untuk melakukannya di Tebing Sumbing Gunung Kelud. Alasanya karena lokasinya di area puncak, dingin dan berkabut, jadi harus di panjat.
Berangkat, Jogja – Kediri
“kayaknya dulu Jogja – Kediri gak sejauh ini deh”. yahh..motoran Jogja – kediri memang kegiatan yang melelahkan. Itulah yang membuat saya tergoda untuk bermalam di penginapan saja daripada harus mendirikan tenda.
Sesampainya di penginapan yang berlokasi di desa Sugihwaras, saya langsung berkeliling sebentar sambil cari makan. Sudah jam 22.00 ternyata, jalanan sepi, hanya beberapa truck pengangkut pasir lalu lalang sambil terkadang bikin mata perih. Malam itu mungkin hanya “nasi goreng mbah sareh” yang masih buka. Sembari makan nasi goreng, saya masih bingung soal perizinan yang akan saya urus besok. Sejujurnya malahan masih belum tau gimana caranya supaya saya diizinkan manjat solo dan gimana caranya hari itu juga semua perizinan selesai. Berdasarkan informasi yang saya dapat, untuk melakukan panjat tebing di gunung kelud proses perizinannya sedikit lama. Kemungkinan sangat kecil bisa selesai dalam sehari, apalagi besok hari jumat yang biasanya setelah sholat jumat beberapa instansi sudah tutup.
Negosiasi perizinan yang mepet
Jumat pagi setelah sarapan, saya menuju kota kediri untuk memasukan surat ke dinas pariwisata. Seperti yang saya perkirakan, izin tidak bisa keluar hari itu juga karena surat harus antri untuk masuk ke kepala bagian (kurang lebih begitu penjelasan mereka). Namum setelah nego dan sedikit memelas, akhirnya mereka meminta saya untuk langsung koordinasi dengan pihak polsek Ngancar dan balai vulkanologi. Tanpa membuang waktu lagi saya langsung menuju Polsek Ngancar. Disana saya mencoba menjelaskan hasil koordinasi dengan dinas pariwisata dan tentunya juga sedikit memelas lagi. Intinya pihak polsek mempersilahkan jika dari pihak vulkanologi memperbolehkan. Ternyata sudah jam 3 sore, saya bergegas menuju balai vulkanologi yang berada setelah pos registrasi. Sore itu saya bertemu dengan petugas yang sedang berjaga sendirian, ah saya lupa namanya. Setelah ngobrol dan memastikan kondisi gunung aman untuk berkegiatan 2 – 3 hari kedepan. Saya lanjut pergi ke tebing sumbing untuk memperkirakan jalur yang akan saya panjat besok.
Berpetualang tidak melulu tentang teknik dan ketahanan fisik, namun diperlukan juga kemampuan manejemen serta kemampuan negosiasi.
Baca Juga: Mendaki Gunung Prau bersama Si Kecil
Waktunya Memanjat
Jam 7 pagi saya sudah ada di bawah tebing, saat itu cuaca sangat mendukung, cerah, tidak berkabut dan juga tidak terlalu berangin. Kondisi itu membuat saya menjadi sangat bersemangat, malah setelah di pikir-pikir sekarang, itu membuat saya jadi terlalu percaya diri bahwa saya bisa sampai top/puncak sebelum sore.
Pemanjatan pitch 1 berjalan pelan namun lancar, sedikit kendala saat harus melakukan hand jam, itu merupakan teknik yang sangat jarang saya lakukan. Karena kondisi tebing-tebing tempat saya biasa manjat di jogja tidak perlu menggunakan hand jam. Mungkin karena terlalu fokus hand jam saya jadi lupa detail pengaman apa saja yang saya pasang haha.. yang pasti variasi cam/friend dan piton.
Lanjut Memanjat Pitch 2
Stasiun belay pitch 1 sangat nyaman untuk istirahat, cukup luas, mungkin muat untuk bersantai 2 – 3 orang dewasa. Tak mau terlalu lama istirahat, setelah cleaning saya lanjut manjat pitch 2.
langkah-langkah awal sangat lancar karena sedikit scrambling. Kendala muncul di tengah-tengah jalur. Batu yang saya pegang dengan tangan kiri lepas lalu membuat saya jatuh, tapi karena tangan kanan masih ada di celah dan masih berusaha nahan, jadi kondisi jatuhnya perlahan/merusut. Nah kondisi itu membuat gri-gri tidak berfungsi karena daya hentak kurang. Sadar itu berbahaya segera saya lepas tangan kanan saya dari celah, agar benar-benar jatuh dan memberi hentakan, lalu gri-gri berfungsi.
Kendala yang Hadir
Beberapa meter setelah itu ada sedikit kendala lagi, sisa pengaman yang saya bawa ukurannya tidak sesuai. Mau tidak mau harus manjat terus sampai dapat lokasi yang pas. runout yang cukup panjang, untung saja tidak jatuh.
Sampai stasiun belay pitch 2 masalah baru muncul, masalah yang menurutku cukup aneh. Semangat dan gairah memanjat yang sebelumnya sangat mengebu-gebu diawal tiba-tiba saja hilang, entah karena apa. Nah yang jelas saat itu saya benar-benar bingung, dan mulai mempertanyakan hal yang sebenarnya tak perlu dipertanyakan, seperti “kenapa saya sendirian disini” hal yang seharusnya tidak keluar dari pikiran saya.
Mungkin sekitar 1 jam saya diam mencoba menenangkan diri, tapi ini sudah aneh, sama sekali tidak ada keinginan untuk manjat lagi. Saat itu saya memutuskan untuk turun saja lanjut besok mungkin pilihan tepat meskipun sedikit menyesal, dalam hati saya “kenapa harus turun!”.
Hari minggu hujan turun dari pagi sampai sore sehingga tidak ada pemanjatan hari itu.
Perjalanan Berikutnya di Hari Selanjutnya
Hari berikutnya saat hendak masuk gerbang batas kendaraan saya diberitahu bapak ojek, kemaren mereka mendengar suara batu jatuh dari area tebing, kemungkinan ukurannya sangat besar.
Itu membuat saya agak khawatir dan langsung tancap gas ke tebing. Area sekitar jalur panjat nampak aman, seperti tidak ada batu besar yang jatuh. Kemungkinan dari area selatan tebing, karena di bawah terlihat banyak beberapa bongkahan besar. Setelah memastikan fix line masih aman, saya naik ke titik terakhir pemanjatan.
Jalur setelah pitch 2 adalah punggungan dengan grede rendah, tidak ada kendala serius dalam proses pemanjatan. Pengaman yang saya gunakan adalah cam/friend dan beberapa sling untuk di kalungkan di tumbuhan.
Sekitar jam 2 siang saya sampai di stasiun pitch 5 yang mana berarti puncak sudah dekat mungkin 1 pitch lagi, tetapi saat itu cuaca memburuk, kabut, angin kencang dan juga mulai gerimis. Kondisi itu membuat saya mulai mempertimbangankan untuk lanjut atau tidak, karena jika lanjut sampai puncak kemungkinan akan hujan dan itu akan sangat dingin, belum lagi proses cleaning yang jelas akan memakan waktu lama karena tali saya hanya 50 meter, mau tidak mau harus cleaning perpitch.
Cleaning Per pitch Memakan Waktu yang Lama
Hal ini membuat saya mengantisipasi agar tidak terlalu lama di punggungan dalam kondisi lelah. Belum lagi ada kemungkinan hujan yang akan membuat semua menjadi sangat berbahaya. Jika itu benar terjadi, akan sangat susah dalam proses evakuasinya, karena saya benar-benar sendirian, tidak ada tim support di bawah. Saat itu keputusannya adalah berhenti di pitch 5 dan turun.
Proses cleaning memakan waktu sekitar 2 jam, cukup lama karena ada beberapa hal bodoh terjadi. Saat cleaning pitch 5 tali saya tersangkut dan tidak bisa ditarik, jadi saya harus naik lagi. Turun pitch 2 pun saya melakukan kebodohan lagi, saya kurang cermat memperkirakan tengah tali untuk cleaning, alhasil satu ujung tali saya belum sampai stasiun belay pitch 1, untung saja kedua ujung tali sudah di simpul.
Setelah prsoses cleaning yang cukup panjang, akhirnya sampai ground sekitar jam setengah 5 sore. Hari ini pun tidak sesuai rencana, jelas sangat menyesal karena tersisa 1 pitch lagi untuk sampai puncak. Hari ini merupakan hari terakhir saya di kelud karena besoknya saya harus kembali pulang ke jogja karena perihal waktu dan dana yang terbatas. Lain waktu saya akan kembali kesini dengan persiapan yang lebih matang.
Akhir Cerita
Kasus yang cukup aneh di hari pertama, bukan perkara terlalu takut, bukan perkara dingin, dan juga bukan perkara lapar. kejadian itu membuat saya teringat postingan instagram salah satu pemanjat solo, begini tulisnya “pentingnya manejemen rasa dalam pemanjatan solo” kurang lebih begitu.
Saat itu saya belum mengerti apa maksudnya, tapi setelah kasus di hari pertama saya bisa sedikit memahami kata-kata itu. Mungkin yang dimaksud manejemen rasa adalah bagaimana untuk tetap logis sebelum memulai memanjat, tidak terlalu terbawa euforia dalam menentukan target. Terlalu bersemangat diawal pemanjatan sampai bisa melupakan segala kemungkinan buruknya. Di saat mulai timbul masalah, rasa semangat itu jadi turun drastis bahkan hilang. Sangat susah mempersiapkan rasa agar mental saya stabil selama pemanjatan solo. Suatu hal yang tidak terlihat namun sangat nyata dampaknya, mungkin saya perlu mencari orang yang tepat untuk membicarakan perihal ini.
Terlepas dari kendala-kendala yang terjadi, ini merupakan panjat tebing terbebas yang pernah saya lakukan. tidak ada yang mengaturmu, tidak ada aturan yang merepotkanmu, tidak ada yang membebanimu atau sebaliknya, simpel.
Tentang Penulis:
Gilar Wicaksono, berkegiatan alam bebas sejak 2015 yang memiliki ketertarik eksplorasi gunung, hutan, goa dan khususnya tebing, serta aktif dalam membuat rute-rute panjat tebing baru di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya. Ikuti kegiatan seru lainya dari Gilar di akun Instagram pribadinya @galargilar
Tentang Program Tulisan Eigerian:
Cerita Eigerian adalah salah satu rubrik dalam program Tulisan Eigerian. Program Tulisan Eigerian adalah program yang membuka kesempatan bagi para penulis dan petualang untuk menjadi kontributor di Blog EIGER. Kontributor dapat berbagi karya, cerita, tips, ataupun review produk EIGER. Program ini terbuka untuk umum dan memiliki syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi oleh para kontributor. Yuk salurkan bakat dan bagikan semangat petualangan melalui tulisan-tulisan yang bermakna sekarang juga, ada reward bagi kontributor yang tulisannya ditayangkan! Cek syarat dan katentuannya untuk menjadi kontributor Blog EIGER di sini atau langsung kirim artikelmu melalui form ini.