Ibu yang menginspirasi: Ibu ku pernah berkata padaku, ”Jika kau melakukan sesuatu yang melelahkan namun kau menyukainya, itu artinya kamu sudah Jatuh Cinta”
“Aku seorang anak yang keras kepala”
Aku seorang anak yang keras kepala dan suka melakukan hal-hal diluar ruangan hingga lupa waktu, mungkin karena seorang Mahasiswa aktif aku selalu penasaran dengan semua hal baru, apa lagi saat aku pertama kali mengenal gunung. Sedangkan ibu seorang IRT yang suka bercanda dan selalu mendukung apa yang aku ingin lakukan walaupun dengan adanya teguran juga pesan dan kesan yang terselip.
“Gunung itu Indah saat dilihat dari jauh maupun dekat”
Dahulu saat aku pertama kali meminta izin mendaki gunung, ibu dengan keras menolak dan melarang padahal saat itu aku benar benar penasaran. Parahnya aku adalah tipikal yang semakin dilarang semakin penasaran. Ibuku yang tahu persis anak sulungnya tetap akan pergi walau dilarang pun memberi pesan “Gunung itu Indah saat dilihat dari jauh maupun dekat, tapi banyak juga bahaya yang bahkan ibu tidak ketahui apa didalamnya”. Aku paham maksud ibuku, karena ibu adalah seorang yang menjaga ku dengan bekal pengetahuannya, tapi untuk masalah gunung itu pengecualian karena ibuku bahkan tidak pernah mendaki atau semacamnya di gunung.
Ibu yang Penuh Khawatir Melepas Anak Sulungnya
Aku yang tahu kekhawatirannya pun menjelaskan bahwa teman mendaki yang akan menemaniku adalah anak yang semasa sekolahnya pun terbiasa bolak balik mendaki gunung. Sedikit terselip candaan saat temanku menceritakan pengalamannya mendaki Gunung. Bahkan temanku menjelaskan apa saja kegunaan dari alat dan perlengkapan yang aku bawa nantinya. Ada Carrier, Kompor Portable, Gas tabung, Sleeping Bag, Tenda, Flysheet, Headlamp Dan alat Lainnya.
Tidak terduga beberapa pertanyaan Random pun muncul dari ibuku saat aku packing bersama teman teman ku.
“Itu kompornya lucu yah beli dimana? ibu pengen juga”
“Loh gak bawa kasur? nanti badannya sakit kena batu-batu kalau tidur”
“Terus nanti Buang Air nya gimana nak?”
Temanku yang lebih paham pun berusaha menjawab dan menjelaskan dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh aku dan ibuku yang masih asing tentang gunung. Jangan heran karena kami ini tinggal bertahun tahun di Timika Papua tempat dimana bahkan Gunung dan Pantai pun tidak ada yang bisa dipijak, dan kami pindah domisili ke Sulawesi Selatan di Kota Makassar saat aku masuk Kuliah.
Pengalaman ini menjadi pengalaman Pertamaku mendaki Gunung juga pertama kali kulihat ibu penuh Kekhawatiran seperti ini untuk membiarkanku pergi. Sekali lagi aku menenangkannya dengan sebuah obrolan seperti,
“Aku mau bawa balsem deh biar enggak pegal dan hangat bu”,
”ibu aku tadi beli snack biar bisa dicemilin diperjalanan”,
“lihat bu, Ternyata tempatnya cantik dan luas yah”,
yang pastinya dibalas senang oleh ibuku karena aku pun berusaha untuk memperlihatkan bahwa diriku akan aman dan masih mengutamakan tentang keselamatanku.
Pendakian Di Mulai
Hari dimana aku akan mulai pendakianku ke Lembah Ramma Via Panaikang bersama 4 teman ku. Aku sempat menelpon ibuku tentang kondisi dan estimasi waktu mulai keberangkatan hingga pulang nanti. Ibuku yang sudah percaya namun masih penuh kekhawatiran itu memberi pesan sebelum menutup telponnya. “Hati hati dijalan Nak, Bawalah Etika dan Sopan Santun mu selama perjalananmu, Insyaallah kamu akan selamat dengan orang-orang baik disekitarmu” . Pesan itu yang menjadi penyemangat sekaligus bekal utama bagiku. Rasanya Aku dan Ibuku mendapatkan pelajaran dan pengetahuan baru tentang melepaskan kekhawatiran bersama.
Di perjalanan ternyata banyak hambatan yang ku lalui, salah satunya yang kata temanku itu normal untuk pemula adalah keseleo. Beberapa kali rasanya kakiku selalu miring dengan sendirinya padahal aku tidak sedang menginjak apa pun, dan rasa ngilunya pun sangat terasa sakit. Kata temanku yang lain aku tidak mempersiapkan fisik dengan olahraga sebelum pendakian dan itu memang benar. Aku lupa fakta bahwa ternyata pendakian itu butuh persiapan fisik juga, bukan hanya persiapkan alat kesehatan/P3K.
Yah sudah pasti kami banyak berhentinya karena aku yang mudah kelelahan dengan tanjakan yang tiada hentinya. Tapi lelahku terbalaskan dengan Pemandangan yang diperlihatkan selama perjalanan itu, membuat ku lupa tentang jalur yang ku anggap jahat.
Matahari Mulai Redup
Saat matahari mulai redup aku semakin mudah lelah dan terlalu sering berhenti, sempat terlintas perasaan tidak enak hati kepada teman temanku yang sepertinya lebih lelah menungguku istirahat dibandingkan terus menanjaki jalur ini. Karena perasaan itu aku jadi harus memaksakan diriku agar tidak menjadi beban teman temanku.
Kami bertemu dengan jalur yang mulai menurun dan lembab karena dekat dengan aliran air. Parahnya aku yang paling sering terpeleset tapi rasa sakit itu tidak terasa karena tertutupi oleh ketakutanku merepotkan teman temanku . Aku tetap memaksakan jalan. Hingga akhirnya kami telah sampai pada Lembah Ramma dan dengan sigap temanku bergerak untuk memasang tenda. Sedangkan aku pemula yang tidak tahu apa yang bisa ku lakukan hanya membantu mengeluarkan alat dari dalam Carrier.
Untungnya saat Tenda telah terpasang dan semua barang sudah masuk ke dalam tenda temanku. Dia mengajarkan ku cara menggunakan kompor cara memasak nasi juga beberapa pengetahuan dasar lainnya yang baik untuk ku ketahui. Salah satu teman ku yang sadar kakiku terluka menaikan sisi kanan celana ku, aku yang bahkan tidak terlalu merasakan nyerinya saja ikutan kaget karena melihat banyak memar benturan di sekitar kaki, betis hingga lutut ku.
Cukup lelah saja yang dirasakan bersama, jangan sampai ada yang rasakan Luka
Temanku sepertinya marah karena tau aku memaksakan diri dan aku sedikit menjelaskan bahwa aku tidak ingin merepotkan mereka, hanya karena rasa lelah ku yang mereka pun rasakan. Salah satu temanku menyaut “Cukup lelah saja yang dirasakan bersama, jangan sampai ada yang rasakan Luka, disini kita berusaha saling melindungi”. Aku terharu mendengar itu rasanya mau nangis tapi ku tahan saja karena malu.
Setelah makan kami berbincang-bincang sambil diobatinya luka ku, kami bercanda, saling berbagi pengalaman menceritakan hal hal melelahkan selama di kota hingga tak terasa sudah terlalu larut dan diantara suhu yang dingin itu kantuk pun datang.
Saat aku terbaring terlintas banyak hal di kepalaku tentang perjalanan kali ini yang benar benar memberikan banyak pelajaran padaku. Mempersiapkan fisik dan mental itu perlu untuk kegiatan alam seperti ini.
Rasa bersyukur atas teman teman yang menemani perjalananku kali ini adalah orang orang baik, yang paham tentang rasa kemanusiaan. Aku sangat tidak sabar untuk bercerita kepada ibu saat pulang nanti, dan akhirnya Aku tertidur dengan perasaan lega juga lelah.
Esok harinya setelah makan dan berfoto foto, kami mengemasi barang dan mempersiapkan diri untuk pulang. Rasanya hatiku berdebar karena perasaan puas dan tidak sabar menceritakan keseruan pengalaman pertamaku walaupun tidak semulus itu tapi penuh rasa syukur. Ibu Benar, aku tahu menjadi orang yang berguna itu tidak mudah, Tapi Ibu anak Sulung mu Telah Jatuh CInta…
Baca Juga: Nature Walk dan Manfaatnya Bagi Anak-Anak
TENTANG PENGARANG
Cut Dhea Nurqarima Umur 21 tahun, Asal Makassar Sulawesi Selatan. Suka berpetualangan sambil mengingat Rumah untuk pulang karena Ibu ku yang siap menjadi pendengar setia petualanganku. Ikuti berbagai pengalaman mengagumkan lainnya dari Iden, follow media sosialnya di Instagram @Its.dhea25
Tentang Program Tulisan Eigerian:
Cerita Eigerian adalah salah satu rubrik dalam program Tulisan Eigerian. Program Tulisan Eigerian adalah program yang membuka kesempatan bagi para penulis dan petualang untuk menjadi kontributor di Blog EIGER. Kontributor dapat berbagi karya, cerita, tips, ataupun review produk EIGER. Program ini terbuka untuk umum dan memiliki syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi oleh para kontributor. Yuk salurkan bakat dan bagikan semangat petualangan melalui tulisan-tulisan yang bermakna sekarang juga, ada reward bagi kontributor yang tulisannya ditayangkan! Cek syarat dan katentuannya untuk menjadi kontributor Blog EIGER di sini atau langsung kirim artikelmu melalui form ini.