Hingga saat ini banyak kegiatan pendakian yang dilakukan di Indonesia. Para pendaki akan berlomba untuk mendaki gunung-gunung di seluruh wilayah Indonesia. Sebenarnya, dari mana kegiatan pendakian gunung ini berasal? Jangankan orang awam, para pendaki yang sudah senior saja masih ada yang belum tahu tentang sejarah mendaki gunung di Indonesia.
Walaupun masih minim catatan sejarah tentang hal itu, namun diketahui bahwa melakukan perjalanan panjang melewati hutan hingga ke puncak sudah dilakukan oleh masyarakat Indonesia pada zaman dahulu. Aktivitas yang dilakukan bukan benar-benar mendaki gunung seperti yang berkembang saat ini, tetapi tujuannya adalah untuk kebutuhan sehari-hari atau kebutuhan spiritual, kebutuhan makanan, atau untuk melakukan ziarah.
Tanpa disadari, aktivitas tersebut kemudian menjadi hal yang kerap dilakukan masyarakat Indonesia hingga saat ini, khususnya bagi masyarakat lokal. Menempuh perjalanan yang terbilang cukup jauh, melewati medan yang sulit, ditambah kondisi cuaca yang susah ditebak menjadi hambatan tersendiri. Tetapi dengan niat yang kuat untuk memenuhi kebutuhan hidup, hambatan pun dapat dihadapi dan dilalui.
Sejarah Pendakian di Dunia
Sebelum membahas tentang sejarah mendaki gunung di Indonesia, Eigerian harus tahu tentang sejarah pendakian di dunia. Pada abad 13 dan 14, masih banyak gunung yang tidak bisa dijamah oleh manusia, bahkan masih terisolasi. Hingga pada akhir abad ke-19, Antoine de Ville melakukan pendakian gunung pertama kali di dunia. Tepatnya pada tahun 1492 di Mont Aiguille. Pada saat itu, Antoine de Ville diperintahkan oleh Charles VII, Perancis. Untuk mengukur skala gunung yang belum terjamah manusia, yang kemudian dinamakan Mont Aiguille tersebut.
Dikarenakan pada saat itu kawasan gunung masih kental untuk urusan keagamaan dan penelitian meteorologi, maka tim Antoine berharap bisa bertemu dengan Dewa di puncak gunung. Namun ternyata, mereka hanya menemukan hamparan padang rumput yang luas.
Hingga tahun 1852, kegiatan mendaki gunung merupakan aktivitas akademik. Di mana para ahli berlomba untuk mengukur ketinggian puncak-puncak gunung untuk diteliti. Mereka bahkan takjub ada puncak di Irian Jaya yang terletak di garis khatulistiwa, tetapi terdapat salju di sana.
Beberapa tahun kemudian, kegiatan puncak gunung berubah tujuannya, dari penelitian akademik menjadi ajang olahraga. Hal ini digawangi oleh Alfred Wills yang meletakkan sebuah tanda di Pegunungan Alpen. Yaitu di Puncak Wetterhorn, titik bahwa dialah orang yang menggawangi peristiwa bersejarah tersebut. Lalu pada 1857, sebuah klub pendakian pertama dibentuk di Inggris yang bernama Alpine Club.
Catatan Sejarah Mendaki Gunung di Indonesia
Menurut catatan yang ada, di tahun 1700-an kegiatan menyusuri hutan hingga tebing untuk mencari sarang burung walet gua di tebing-tebing Kalimantan Timur atau di Karangbolong-Jawa Tengah pernah dilakukan. Kegiatan tersebut bisa jadi merupakan salah satu awal mula inspirasi kegiatan mendaki gunung di Indonesia. Eigerian juga bisa menemukan tempat-tempat ziarah di gunung yang terkadang berada di posisi yang cukup tinggi dan sulit. Tempat itu bisa menjadi bukti bahwa masyarakat pada zaman dahulu sudah beraktivitas menyusuri gunung untuk berbagai kebutuhan.
Kemudian semakin berkembangnya waktu, kegiatan mendaki gunung dengan tujuan menikmati alam hingga ke puncak pun muncul dan populer hingga saat ini. Tentunya, perlu dibarengi dengan pengetahuan yang ada, persiapan yang matang, agar perjalanan tetap aman dan nyaman, serta dapat meminimalisir resiko yang mungkin terjadi.
Terbentuknya Pecinta Alam di Indonesia
Tahun 1964 tercatat sebagai tahun terbentuknya kelompok pecinta alam di Indonesia yang dibentuk oleh mahasiswa, yaitu Mapala UI di Jakarta dan Wanadri di Bandung. Di tahun tersebut, pendakian berhasil dilakukan di Puncak Carstensz dengan ketinggian 4884 mdpl oleh pendaki Jepang beserta 3 ABRI, yaitu Fred Athaboe, Sudarto, dan Suginin yang tergabung dalam Ekspedisi Cendrawasih. Setelah tahun tersebut, banyak kegiatan pendakian gunung yang dilakukan di gunung-gunung di Indonesia. Hingga pada 1971, Mapala UI berhasil mencapai Puncak Jaya Wijaya yang dilakukan oleh anggota Mapala UI serta beberapa orang di luar kelompok.
Meskipun sekarang kegiatan mendaki gunung dilakukan oleh banyak orang, tetapi pendakian gunung tetap merupakan kegiatan yang tidak bisa dilakukan sembarangan. Banyak hal yang harus diperhatikan oleh setiap pendaki, terutama tentang kesiapan fisik. Terlebih ketika gunung yang ditargetkan untuk didaki adalah gunung yang begitu tinggi dengan medan pendakian yang tidak mudah untuk dilalui. Selain kesiapan fisik, peralatan mountaineering yang memadai juga wajib disiapkan. Usahakan membawa tenda dengan layer berlipat sehingga bisa tahan badai. Pasalnya, keadaan angin dan hujan tidak bisa diprediksi. Peralatan mendaki gunung selengkapnya, bisa cek di Eiger Adventure Store.